Review
Jurnal Sengketa Ekonomi
Tugas Kelompok (2EB06):
1.AnggitDanisa 20210841
2. Bunga Restarina 21210491
3. Dian Julia Puspitasari 21210961
4. Maulana 24210261
5. Supra Andalini F S 26210742
1.AnggitDanisa 20210841
2. Bunga Restarina 21210491
3. Dian Julia Puspitasari 21210961
4. Maulana 24210261
5. Supra Andalini F S 26210742
Judul : PENERAPAN FIQIH MUAMALAH SEBAGAI DASAR
KEWENANGAN PENGADILAN AGAMA DALAM PENYELESAIAN SENGKETA EKONOMI SYARIAH
Pengarang : Hj. Renny Supriyatni
Abstrak :
The development of Islamic economic institutions in
Indonesia has created the conflict of interest between stakeholder and
Religious Court, especially in settlement of syariah-economic disputes. The
application of fiqih muamalah in settlement of syariah-economic disputes in
Islamic Religious Court, has been the crucial issue in Indonesia positive law .
This article will seek to find and determine whether the application of fiqih
muamalah as a basis in such dispute settlement is consistent with the Islamic Law
Principles. It also examines the implementation of fiqih muamalah that has
become an Indonesian positive law. This research applies juridical normative
approach. Data collection is gathered from library research complemented by
primary from field research. The specification of this research is descriptive
analysis, and the data gathered is analyzed in qualitative method.
Pendahuluan :
Ekonomi syari’ah hadir dalam ranah sistem hukum
nasional merupakan pengejawantahan dari semakin tumbuhnya pemikiran dan kesadaran
untuk mewujudkan prinsip hukum sebagai agent of development, agent of
modernization dan hukum sebagai a tool of social engineering. Hal ini seiring
dengan perkembangan lembaga ekonomi/keuangan syariah di Indonesia, maka akan
ada perbedaan kepentingan (conflict of interest) dengan dunia Peradilan
khususnya Peradilan Agama, titik singgung yang dimaksud adalah dalam hal
penyelesaian sengketanya. Lahirnya Undang-Undang Nomor 3 Tahun 2006
Undang-Undang Nomor 50 Tahun 2009 Tentang Perubahan Kedua atas Undang -Undang
Nomor 7 Tahun 1989 Tentang Peradilan Agama (selanjutnya disebut UUPAg.) telah
membawa perubahan besar dalam eksistensi lembaga Peradilan Agama saat ini,
dimana salah satu perubahan mendasar adalah penambahan wewenang lembaga
Peradilan Agama antara lain dalam bidang ekonomi syari’ah.
Bertambahnya kewenangan Pengadilan Agama tersebut
yang belum diimbangi dengan payung hukum (umbrella provision) yang memadai,
hakim Pengadilan Agama dalam menjalankan fungsi yudikatif apabila tidak
menemukan payung hukum, tidak sedikit yang mempertimbangkan faktor budaya, baik
yang terekam dalam beberapa buku fiqih madzhab ataupun yang hidup dalam
masyarakat (the living law). Hal ini merupakan kewajiban bahkan sudah merupakan
asas peradilan untuk tetap menyelesaikannya. Oleh karena itu, setiap hakim
dalam lingkungan Peradilan Agama dituntut supaya mengembangkan kemampuan
ijtihad-nya (rechtvinding). Termasuk dalam katagori ijtihad disini adalah ia
berusaha mencari atau memberikan keputusan hukum yang lebih sesuai dan adil
dalam upaya mengembangkan sistem hukum itu sendiri.
Pembahasan :
A.
Landasan Yuridis Penggunaan Fikih Muamalah Dalam Penyelesaian Sengketa Ekonomi
Syari’ah
Berdasarkan Pasal 49 huruf (i) Undang-Undang
Peradilan Agama, perkara ekonomi syari’ah termasuk kewenangan Pengadilan Agama.
Masalah ekonomi syari’ah merupakan bidang baru dari kewenangan Pengadilan agama
yang belum diatur dalam perundang-undangan, namun berdasarkan Pasaltersebut
Pengadilan agama memiliki kewajiban bahkan sudah merupakan asas peradilan untuk
tetap menyelesaikannya. Dasar hukumnya adalah:
a. Pasal16 ayat (1) Undang-Undang Kekuasaan
Kehakiman, bahwa pengadilan tidak boleh menolak untuk memeriksa, mengadili dan
memutus suatu perkara yang diajukan dengan dalih bahwa hukum tidak ada atau kurang
jelas, melainkan wajib untuk memeriksa dan mengadilinya.
b. Tidak ada satupun ketentuan undang-undang yang
melarang penerimaan atas ilmu pengetahuan termasuk doktrin fikih muamalah
sebagai dasar dalam menyelesaikan sengketa atau perkara.31
c. Kadang-kadang hakim merasa pengetahuannya di
bidang hukum masih sangat terbatas, sehingga menganggap perlu mendasarkan
putusannya pada pendapat para ahli yang dianggapnya lebih mengetahui.
Seorang hakim mendasarkan putusannya pada pendapat
para ahli yang lebih mengerti sebagaimana point tiga (3) di atas mempunyai dua
konotasi. Dalam teori hukum Islam (Islamic legal theory), apabila hakim
tersebut mendasarkan putusannya kepada pendapat para ahli fikih (imam madzhab/fuqaha)
dengan memahami dan mengerti baik cara maupun alasan-alasan yang menjadi dasar
yang bersangkutan menetapkan garis-garis hukum terhadap kasus tertentu, maka
hakim yang demikian menggunakan cara ittiba’ yaitu mengikuti pendapat madzhab
fikih tertentu dengan mengetahui alasan-alasan penetapan hukumnya, dalam ajaran
Islam hal ini dibolehkan.
Undang-Undang Kekuasaan Kehakiman dan Undang-Undang
Peradilan Agama menganjurkan atau bahkan menuntut Hakim Agama supaya melakukan
ijtihad (rechtvinding). Anjuran ini antara lain dapat dipahami dari teks-teks
di bawah ini:
a. Pengadilan tidak boleh menolak untuk memeriksa
dan mengadili sesuatu perkara yang diajukan dengan dalih bahwa hukum tidak atau
kurang jelas melainkan wajib untuk memeriksa dan mengadilinya (Pasal16 ayat (1)
Undang-Undang Nomor 48 Tahun 2009 Tentang Kekuasaan Kehakiman Jo Pasal56 ayat
(1) Undang-undang Nomor 50 Tahun 2009 Tentang Perubahan Kedua Atas
Undang-Undang Nomor 7 Tahun 1989 Tentang peradilan Agama;
b. Hakim wajib menggali, mengikuti dan memahami
nilai-nilai hukum yang hidup dengan mengintegrasikan diri dalam masyarakat …”
(Angka 7 Penjelasan Umum Undang-Undang Nomor 14 Tahun 1970 yang telah diubah
dengan Undang-Undang Nomor 48 Tahun 2009 Tentang Kekuasaan Kehakiman);
c. Hakim sebagai organ pengadilan dianggap memahami
hukum. Para pihak pencari keadilan datang padanya untuk mohon keadilan. Andai
kata ia tidak menemukan hukum tertulis, ia wajib menggali hukum tidak tertulis
untuk memutus berdasarkan hukum, sebagai seorang hakim yang bijaksana dan
bertanggung jawab penuh kepada Tuhan Yang Maha Esa, diri sendiri, masyarakat,
bangsa dan negara” (Penjelasan Pasal14 ayat (1) UU No. 14 Tahun 1970 yang telah
diubah dengan Undang-Undang Nomor 48 Tahun 2009 Tentang Kekuasaan Kehakiman).
d. Hakim sebagai penegak hukum dan keadilan wajib
menggali, mengikuti dan memahami nilai-nilai hukum yang hidup dalam masyarakat
(the living law). Dalam masyarakat yang masih mengenal hukum tidak tertulis,
serta berada dalam masa pergolakan dan peralihan, hakim merupakan rumus dan
penggali dari nilai-nilai hukum yang hidup di kalangan rakyat. Untuk itu hakim
harus terjun ke tengah-tengah masyarakat untuk mengenal, merasakan dan mampu
menyelami perasaan hukum dan rasa keadilan yang hidup dalam masyarakat. Dengan
demikian hakim dapat memberikan putusan yang sesuai dengan hukum dan rasa
keadilan masyarakat” (Pasal27 berikut Penjelasannya Undang-Undang Nomor 14
Tahun 1970 yang telah diubah dengan Undang-Undang Nomor 48 Tahun 2009 Tentang
Kekuasaan Kehakiman).
Konsep hukum Indonesia adalah hukum tertulis
sebagaimana hukum yang dianut oleh Eropa Kontinental. Namun pada pelaksanaannya
Indonesia tidak murni menganut sistem statut law dan juga tidak menganut sistem
common law secara ketat. PasalI aturan Peralihan UUD 1945 menyebutkan: “Segala
Badan Negara dan Peraturan yang ada masih langsung berlaku selama belum
diadakan yang baru menurut Undang-Undang Dasar ini”. Berdasarkan Pasaltersebut,
yang dimaksud dengan hukum adalah hukum yang tertulis atau undang-undang dan bukan
kitab yang berisi doktrin-doktrin hukum/fikih. Tetapi ketentuan tersebut bukan
merupakan ketentuan yang menutup pintu ijtihad bagi hakim dalam menemukan
hukum, sebab konteks tugas hakim berdasarkan Pasal16 ayat (1) Undang-Undang
Kekuasaan Kehakiman, hakim tidak boleh menolak perkara dengan alasan hukum
(hukum tertulis) tidak ada atau kurang jelas. Dalam Pasal28 ayat (1)
Undang-Undang Kekuasaan Kehakiman juga dinyatakan bahwa hakim sebagai penegak
hukum dan keadilan wajib menggali, mengikuti dan memahami nilai-nilai hukum dan
rasa keadilan yang hidup dalam masyarakat.
B.
Aktualisasi Fikih Muamalah yang Telah Menjadi Hukum Positif di Indonesia
Hukum Islam yang seperti diformulasikan oleh Dewan
Syariah Nasional (DSN) yang bersumber pada fiqih para fuqaha digunakan sebagai
acuan pada sistem operasionalisasi prinsip ekonomi syariah yang digunakan oleh
para pihak.
Perlu ditegaskan bahwa Majelis Ulama Indonesia (MUI)
bukan lembaga Negara, keberadaan MUI tidak dibentuk berdasarkan undang-undang.
Akan tetapi, peran kultural MUI secara kualitatif dan kuantitaif dalam
mengembangkan dan menjalankan ekonomi syariah di Indonesia sangatlah besar.
Fatwa merupakan salah satu institusi dalam hukum islam untuk memberikan jawaban
dan solusi terhadap problem yang dihadapi umat. Sebab posisi fatwa di kalangan
masyarakat umum, laksana dalil di kalangan para mujtahid. Artinya, kedudukan
fatwa bagi orang kebanyakan,seperti dalil bagi mujtahid.37Apabila kedudukan
fatwa dilihat dari aspek kajian ushul fiqh, maka kedudukan fatwa hanya mengikat
orang yang meminta fatwa dan yang memberi fatwa.38Namun dalam konteks ini,
teori itu tidak dapat sepenuhnya dapat diterima karena konteks, sifat, dan
karakter fatwa saat ini telah berkembang dan berbeda dengan fatwa klasik.
Pada saat ini, fatwa ekonomi syari’ah DSN tidak
hanya mengikat bagi para praktisi lembaga ekonomi syari’ah melainkan juga bagi
warga masyarakat Islam Indonesia. Apalagi saat ini fatwa-fatwa tersebut telah
dijadikan hukum positif melalui Undang-Undang Nomor 21 Tahun 2008 tentang
Perbankan Syari’ah, sebagaimana tercantum dalam dalam Pasal1 angka (12) yang
berbunyi “ Prinsip syariah adalah prinsip hukum Islam dalam kegiatan perbankan
berdasarkan fatwa yang dikeluarkan oleh lembaga yang memiliki kewenangan dalam
penetapan fatwa di bidang syariah.”Selain fatwa-fatwa tentang ekonomi syari’ah
terdapat beberapa peraturan yang berkenaan dengan fikih muamalah dalam bidang
ekonomi yang telah menjadi hukum posistif di Indonesia dan menjadi acuan hakim
dalam memutus perkara sengketa ekonomi syariah, diantaranya sebagai berikut:
1. UU No. 7 Tahun 1989, tentang Peradilan Agama.
2. UU. No. 8 Tahun 1999 Tentang Perlindungan
Konsumen (Label halal);
3. UU No. 38 Tahun 1999, tentang Pengelolaan Zakat.
4. UU. Nomor 41 Tahun 2004 tentang Wakaf;
5. UU Nomor 3 Tahun 2006 Perubahan atas UU Nomor 7
Tahun 1989 tentang Peradilan Agama;
6. UU Nomor 19 Tahun 2008 tentang Surat Berharga
Syariah Nasional (SBSN);
7. UU Nomor 21 Tahun 2008 tentang Perbankan Syariah;
8. UU. Nomor 50 Tahun 2009 Perubahan kedua atas
Undang-undang Nomor 3 tahun 2006 Tentang Peradilan Agama;
9. P.P. No. 28 Tahun 1977 Tentang Perwakafan Tanah
Milik;
10. Peraturan Pemerintah Republik Indonesia Nomor 39
Tahun 2005 Tentang Penjaminan Simpanan Nasabah Bank Berdasarkan Prinsip Syariah
11. PP. Nomor 42 Tahun 2006 Tentang Pelaksanaan
Wakaf Tunai
12. PERMA No. 2 Tahun 2008 tentang Ekonomi Syariah.
Mengingat fatwa-fatwa dan peraturan
perundang-undangan di atas belum meliputi seluruh item ekonomi syari’ah
sebagaimana yang termaktub dalam Pasal49 Undang-Undang Nomor 3 Tahun 2006
tentang Amandemen Undang-Undang Nomor 7 Tahun 1989 Tentang Peradilan Agama,
maka hakim di Peradilan Agama juga perlu mempelajari 13 kitab-kitab fiqih yang
dianjurkan oleh Menteri Agama RI melalui Biro Peradilan Agama berdasarkan Surat
Edaran Nomor B/1/735 Tahun 1958.
Kesimpulan
:
Pengaturan penggunaan fikih muamalah dalam
penyelesaian sengketa ekonomi syari’ah di Pengadilan Agama sebagai acuan hakim
dalam menyelesaikan sengketa diperbolehkan mengingat belum adanya peraturan perundangan
yang secara umum mengatur tentang ekonomi syari’ah. Oleh karena itu guna
memberikan kepastian hukum dan memenuhi rasa keadilan masyarakat, hakim wajib
menggali, mengikuti dan memahami nilai-nilai hukum di masyarakat yang berkaitan
dengan ekonomi syari’ah.
Aktualisasi fikih muamalah, bagian-bagian materil
Syariat Islam yang telah menjadi hukum positif (Perundang-Undangan yang
berkaitan dengan ekonomi syari’ah) di Indonesia adalah Undang-Undang No 21
Tahun 2008 tentang Perbankan Syariah, PERMA No 2 Tahun 2008 Tentang Kompilasi
Hukum Ekonomi Syariah serta Peraturan-peraturan lain seperti Surat Keputusan
Direksi Bank Indonesia dan Peraturan Bank Indonesia yang berkaitan dengan
ekonomi syari’ah. Fatwa-fatwa MUI yang berkaitan dengan masalah-masalah ekonomi
syariah yaitu fatwa Nomor No. 01/DSN-MUI/IV/2006, No. 53/DSN-MUI/IV/2006.
Peraturan perundang-undangan dan fatwa-fatwa tersebut menjadi dasar pelaksanaan
kegiatan dibidang ekonomi syari’ah terutama pada bank-bank syari’ah atau
bank-bank konvensional yang membuka cabang syari’ah.
DAFTAR PUSTAKA
Ahmad Azhar Basyir, Riba, Utang-Piutang dan Gadai,
Alma’arif, Bandung, 1983.
R. Abdul Djamali, “Hukum Islam Berdasarkan Ketentuan
Konsorsium Ilmu Hukum”, Mandar Maju, Cetakan Kedua, Bandung, 1997.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar