Review
Jurnal Hukum Perdata
Tugas Kelompok (2EB06):
1.AnggitDanisa 20210841
2. Bunga Restarina 21210491
3. Dian Julia Puspitasari 21210961
4. Maulana 24210261
5. Supra Andalini F S 26210742
1.AnggitDanisa 20210841
2. Bunga Restarina 21210491
3. Dian Julia Puspitasari 21210961
4. Maulana 24210261
5. Supra Andalini F S 26210742
Judul : WUJUD GANTI RUGI MENURUT KITAB
UNDANG-UNDANG HUKUM PERDATA
Pengarang
: M. Tjoanda
Abstrak :
Agreement is a legal relationship between two people
or more, which creates certain rights and obligations. In terms of the debtor
or the debt does not meet its obligations or does not meet its obligations as
they should and not fulfilled that obligation because there is an element of
him, then the lender has the right to demand restitution, This is what this
writing melatar belakangi How problems with the form of compensation according
to the Book of Law Civil Law? The results obtained that the compensation as a
result of default set out in the Book of Civil Law Act, may also apply for
compensation as a result of an unlawful act. Given the form of material loss
and imateriil, then a form of compensation can be either kind (some money) or
innatura.
Pendahuluan :
Perikatan adalah suatu perhubungan hukum antara dua
orang atau dua pihak, berdasarkana mana pihak yang satu berhak menuntut sesuatu
hal dari pihak yang lain, dan pihak yang lain berkewajiban untuk memenuhi tuntutan
itu.
Pihak yang berhak menuntut sesuatu dinamakan
kreditur atau si berpiutang, sedangkan pihak yang berkewajiban memenuhi
tuntutan dinamakan debitur atau si berutang.Tuntutan atau kewajiban tersebut
lazimnya disebut sebagai prestasi. Pasal 1234 KUHPerdata :
“ Tiap-tiap perikatan adalah untuk memberikan
sesuatu, untuk berbuat sesuatu, atau untuk tidak berbuat sesuatu.”
Menurut Pasal 1234 KUH Perdata prestasi itu
dibedakan atas :
1. Memberikan sesuatu
2. Berbuat sesuatu
3. Tidak berbuat sesuatu
Dalam hal debitur atau si berutang tidak memenuhi
kewajibannya atau tidak memenuhi kewajibannya sebagaimana mestinya dan tidak
dipenuhinya kewajiban itu karena ada unsur salah padanya, maka ada
akibat-akibat hukum yang bisa menimpa dirinya.
Pertama-tama, sebagai yang disebutkan dalam pasal
1236 KUHPerdata dan 1243 KUHPerdata
Kreditur berhak untuk menuntut penggantian kerugian,
yang berupa ongkos-ongkos, kerugian dan bunga.Akibat hukum seperti ini menimpa
debitur baik dalam perikatan untuk memberikan sesuatu, untuk melakukan sesuatu
ataupun tidak melakukan sesuatu.
Bahwa kalau perjanjian itu berupa perjanjian timbal
balik, maka berdasarkan pasal 1266 KUHPerdata maka kreditur berhak untuk
menuntut pembatalan perjanjian, dengan atau tanpa disertai dengan tuntutan ganti
rugi.Tetapi kesemuanya itu tidak mengurangi hak dari kreditur untuk tetap
menuntut pemenuhan.
Apabila salah satu pihak dalam perikatan merasa
dirugikan oleh pihak lainnya dalam perikatan tersebut, maka hukum memberikan
wahana bagi pihak yang merasa dirugikan tersebut untuk melakukan gugatan ganti
rugi.Hal inilah yang melatar belakangi penulis untuk melakukan penulisan dengan
permasalahan bagaimana wujud ganti rugi menurut Kitab Undang-Undang Hukum
Perdata?
Pembahasan :
1. Pengertian
Kerugian
Pengertian kerugian menurut R. Setiawan, adalah
kerugian nyata yang terjadi karena wanprestasi.Adapun besarnya kerugian
ditentukan dengan mem-bandingkan keadaan kekayaan setelah wanprestasi dengan
keadaan jika sekiranya tidak terjadi wanprestasi.
Pengertian kerugian yang hampir sama dikemukakan
pula oleh Yahya Harahap, ganti rugi ialah “kerugian nyata” atau “fietelijke
nadeel” yang ditimbulkan perbuatan wanprestasi. Kerugian nyata ini ditentukan
oleh suatu perbandingan keadaan yang tidak dilakukan oleh pihak debitur.
Pengertian kerugian yang lebih luas dikemukakan oleh
Mr. J. H. Nieuwenhuis sebagaimana yang diterjemahkan oleh Djasadin Saragih,
pengertian kerugian adalah berkurangnya harta kekayaan pihak yang satu, yang
disebabkan oleh perbuatan (melakukan atau membiarkan) yang melanggar norma oleh
pihak yang lain4. Yang dimaksud dengan pelanggaran norma oleh Nieuwenhuis di
sini adalah berupa wanprestasi dan perbuatan melawan hukum.
Bila kita tinjau secara mendalam, kerugian adalah suatu
pengertian yang relatif, yang bertumpu pada suatu perbandingan antara dua
keadaan. Kerugian adalah selisih (yang merugikan) antara keadaan yang timbul
sebagai akibat pelanggaran norma, dan situasi yang seyogyanya akan timbul
anadaikata pelanggaran norma tersebut tidak terjadi.
Pengertian kerugian dibentuk oleh perbandingan antara situasi
sesungguhnya (bagaiaman dalam kenyataannya keadaan harta kekayaan sebagai
akibat pelanggaran norma) dengan situasi hipotesis (situasi itu akan menjadi
bagaimana andaikata pelanggaran norma tersebut tidak terjadi). Sehingga dapat
ditarik suatu rumusan mengenai kerugian adalah situasi berkurangnya harta
kekayaan salah satu pihak yang ditimbulkan dari suatu perikatan (baik melalui
perjanjian maupun melalui undang-undang) dikarenakan pelanggaran norma oleh pihak
lain.
2. Unsur-Unsur
Ganti Rugi
Dalam pasal 1246 KUHPerdata menyebutkan :
“ biaya, rugi dan bunga yang oleh si berpiutang boleh dituntut
akan penggantiannya, terdirilah pada umumnya atas rugi yang telah dideritanya
dan untung yang sedianya harus dapat dinikmatinya, dengan tak mengurangi
pengecualian-pengecualian serta perubahan-perubahan yang akan disebut di bawah
ini.”
Menurut Abdulkadir Muhammad, dari pasal 1246 KUHPerdata
tersebut, dapat ditarik unsur-unsur ganti rugi adalah sebagai berikut :
(a) Ongkos-ongkos atau biaya-biaya yang telah dikeluarkan
(cost), misalnya ongkos cetak, biaya meterai, biaya iklan.
5 Ibid.
(b) Kerugian karena kerusakan, kehilangan ata barng kepunyaan
kreditur akibat kelalaian debitur (damages). Kerugian di sini adalah yang
sungguh-sungguh diderita, misalnya busuknya buah-buahan karena keterlambatan
penyerahan, ambruknya sebuah rumah karena salah konstruksi sehingga merusakkan
perabot rumah tangga, lenyapnya barang karena terbakar.
(c) Bunga atau keuntungan yang diharapkan (interest). Karena
debitur lalai, kreditur kehilangan keutungan yang diharapkannya. Misalnya A
akan menerima beras sekian ton dengna harga pembelian Rp. 250,00 per kg.
Sebelum beras diterima, kemudian A menawarkan lagi kepada C dengan harga Rp.
275,00 per kg. Setelah perjanjian dibuat, ternyata beras yang diharapkan
diterima pada waktunya tidak dikirim oleh penjualnya. Di sini A kehilangan
keutungan yang diharapkan Rp. 25,00 per kg.6
Purwahid Patrik lebih memperinci lagi unsur-unsur kerugian.
Menurut Patrik, kerugian terdiri dari dua unsur :
a. Kerugian yang nyata diderita (damnum emergens) meliputi
biaya dan rugi
b. Keutungan yang tidak peroleh (lucrum cessans) meliputi
bunga.
Kadang-kadang kerugian hanya merupakan kerugian yang diderita
saja, tetapi kadang-kadang meliputi kedua-dua unsur tersebut.
Satrio melihat bahwa unsur-unsur ganti rugi adalah :
a. Sebagai pengganti daripada kewajiban prestasi perikatannya
b. Sebagian dari kewajiban perikatan pokoknya
c. Sebagai pengganti atas kerugian yang diderita oleh kreditur
oleh karena keterlambatan prestasi dari kreditur.
d. Kedua-duanya sekaligus jadi sini dituntut baik pengganti
kewajiban prestasi pokok perikatannya maupun ganti rugi keterlambatannya.
3. Sebab-Sebab
Kerugian
Dari pengertian kerugian pada sub bab sebelumnya dapat kita
lihat bahwa kerugian adalah suatu pengertian kausal, yakni berkurangnya harta
kekayaan (perubahan keadaan berkurangnya harta kekayaan), dan diasumsikan
adanya suatu peristiwa yang menimbulkan perubahan tersebut. Syarat untuk menggeserkan
kerugian itu kepada pihak lain oleh pihak yang dirugikan adalah bahwa kerugian
tersebut disebabkan oleh pelanggaran suatu norma oleh pihak lain tersebut.
Menurut Nurhayati Abas, ganti kerugian harus memenuhi beberapa
sebab:
a. Harus ada hubungan kausal
b. Harus ada adequate
kreditur mempunyai kewajiban untuk berusaha membayar kerugian
yang timbul sampai batas-batas yang patut. Kalau kreditur tidak berusaha
membatasi kerugian itu maka akibat dari kelalaiannya tidakdapat dibebankan
kepada debitur.Ketentuan ini juga berkaitan dengan prinsip dapat digugat dan
hubungan adequat.
a. Hubungan Sine Qua Non (Von Buri)
Syarat pertama untuk membebankan kerugian pada orang lain
adalah bahwa telah terjadi pelanggaran norma yang dapat dianggap sebagai
condicio sine qua non kerugian tersebut.
Menurut teori ini suatu akibat ditimbulkan oleh berbagai
peristiwa yang tidak dapat ditiadakan untuk adanya akibat tersebut.Berbagai
peristiwa tersebut merupakan suatu kesatuan yang disebut “sebab”.
Nieuwenhuis memberikan contoh menarik untuk ini :
C menyewakan sejumlah kamar kepada beberapa orang, termasuk A
dan B. Kamar-kamar tersebut terletak di atas ruang konfeksi milik C. Menurut
kontrak sewa, para penyewa dilarang menggunakan alat masak listrik. Dalam
urutan kronologis terjadi yang berikut ini: 11
a. A menghubungkan alat listrik pemasak air dengan jaringan
listrik.
b. B menggunakan alat listrik pemanas air dalam kamar mandi,
yang menyerap tenaga listrik yang sama.
c. Aliran listrik terhenti dan mesin-mesin jahit listrik di
ruang konfeksi C terhenti.
Apa yang menjadi “penyebab” berhentinya mesin-mesin jahit
listrik tersebut? Mesin-mesin itu tidak akan berhenti andaikata A tidak
menggunakan alat listrik pemanas air, Jadi tingkah laku A berpengaruh terhadap
berhentinya mesin-mesin jahit tersebut. Peristiwa a merupakan syarat untuk
timbulnya peristiwa c. Dalam artinya bahwa tanpa a, c tidak akan terjadi
(condicio sine qua non).
Kalau “penyebab” dirumuskan sebagai tiap peristiwa, yang tanpa
peristiwa tersebut peristiwa lain tidak akan terjadi, maka b juga merupakan
“penyebab” berhentinya mesin-mesin jahit tersebut. Anadaikata B tidak
menggunakan alat pemanas air di kamar mandi, maka tidak akan ada kelebihan
beban listrik dan mesin-mesin jahit itu tidak akan berhenti. Jadi, meskipun peristiwa a dan b kedua-duanya merupakan conditio
sine qua non untuk peristiwa c, namun ahli hukum hanya mengkualifikasikan
perbuatan A sebagai penyebab berhentinya mesin-mesin jahit tersebut dan
kerugian yang ditimbulkan, karena baginya yang penting adalah menetapkan apakah
kerugian dapat dibebankan pada orang lain daripada yang dirugikan. Karena ini
hanya mungkin jika kerugian adalah akibat pelanggaran norma oleh orang lain
itu, maka ahli hukum hanya menaruh minat akan syarat-syarat untuk timbulnya
kerugian dimana terdapat pula pelanggaran norma hukum. Penyebab dalam arti
yuridis dalam situasi di atas hanya penggunaan alat pemanas air minum oleh A
(yang dilarang) meskipun perbuatan B dalam ukuran yang sama turut berperan
dalam timbulnya kerugian.
b. Hubungan Adequat (Von
Kries)
Kerugian adalah akibat adequat
pelanggaran norma apabila pelanggaran norma demikian meningkatkan
kemungkinan untuk timbulnya kerugian demikian. Inilah inti ajaran penyebab yang
adequat.
Teori ini berpendapat bahwa
suatu syarat merupakan sebab, jika menurut sifatnya pada umumnya sanggup untuk
menimbulkan akibat. Selanjutnya Hoge Raad memberikan perumusan, bahwa suatu
perbuatan merupakan sebab jika menurut pengalaman dapat diharapkan / diduga
akan terjadinya akibat yang bersangkutan. Ajaran ini mencampur adukkan antara causalitet
dan pertanggunganjawaban.
Hoge Raad menganut ajaran adequate.Hal ini ternyata dari arrest-nya
tanggal 18 November 1927, dimana dirumuskan bahwa yang dimaksud dengan akibat
yang langsung dan seketika adalah akibat yang menurut aturan-aturan pengalaman
dapat diharapkan terjadi.
4. Wujud Ganti Rugi
Pada umumnya ganti rugi
diperhitungkan dalam sejumlah uang tertentu.Hoge Raad malahan
berpendapat, bahwa penggantian “ongkos, kerugian, dan bunga” harus dituangkan
dalam sejumlah uang tertentu.Namun jangan menjadi rancu; kreditur bisa saja
menerima penggantian in natura dan membebaskan debitur. Yang tidak dapat
adalah bahwa debitur menuntut kreditur agar menerima ganti rugi dalam wujud
lain daripada sejumlah uang.
Pendapat seperti itu dengan
tegas dikemukakan, ketika Hoge Raad menghadapi masalah tuntutan ganti
rugi dari seorang yang minta kepada toko perhiasan, agar perhiasan yang ia beli
daripadanya diperbaiki, tetapi perbaikan itu ternyata malah menimbulkan
kerusakan dan kerugian lebih parah lagi. Hof memutuskan bahwa pemilik
toko perhiasan harus mengganti kerugian, dengan cara mengembalikan harga yang
dulu dibayar oleh pembeli dan pembeli mengembalikan perhiasannya. Cara
perhitungan ganti rugi seperti ini tidak dibenarkan oleh Hoge Raad.Ganti
rugi harus diwujudkan dalam sejumlah uang.
Pitlo berpendapat bahwa undang-undang kita tidak memberikan
dasar yang cukup kuat untuk kita katakan, bahwa tuntutan ganti rugi hanya dapat
dikemukakan dalam sejumlah uang tertentu.12
Alasan pokoknya sebenarnya adalah bahwa
berpegang pada prinsip seperti itu banyak kesulitan-kesulitan dapat
dihindarkan. Anehnya, kalau ganti rugi itu berkaitan dengan onrechtmatige
daad, maka syarat “dalam wujud sejumlah uang” tidak berlaku, karena Hoge
Raad dalam kasus seperti itu membenarkan tuntutan ganti rugi dalam wujud
lain.
Walaupun demikian hal itu tidak
berarti, bahwa untuk setiap tuntutan ganti rugi kreditur harus membuktikan
adanya kepentingan yang mempunyai nilai uang. Hal itu akan tampak sekali pada
perikatan untuk tidak melakukan sesuatu, dimana pelanggarannya biasanya
menimbulkan kerugian yang sebenarnya tidak dapat dinilai dengan uang.
Sering pula muncul pada
tuntutan ganti rugi atas dasar onrechtmatige daad. Namun adanya ganti
rugi atas kepentingan yang tidak dapat dinilai dengna uang, secara tegas-tegas
diakui, seperti pada pasal 1601w KUHPerdata yang menyatakan bahwa :
“ Jika salah satu pihak
dengan sengaja atau karena salahnya telah berbuat melawan dengan salah satu
kewajibannya dan kerugian yang karenanya diderita oleh pihak lawan tidak dapat
dinilaikan dengan uang, maka Hakim akan menetapkan suatu jumlah uang menurut
keadilan, sebagai ganti rugi”.
Lebih dari itu Pitlo secara
tegas mengatakan bahwa kehilangan kesempatan menikmati kesegaran hidup (gederfde
levensvreugde) dapat menjadi dasar untuk tuntutan ganti rugi; demikian juga
kehilangan nilai-nilai affectie. Tuntutan ganti rugi (kerugian idiil)
sebesar f. 600,00 oleh seorang komponis atas dasar telah dibawakannya
lagu ciptannya dalam suatu pertunjukan komersial (dengan memungut bayaran) tanpa
mendapat izinnya lebih dahulu telah dikabulkan oleh Raad van Justite Batavia
dalam keputusannya tanggal 11 Maret 1927. Dengan demikian di sini dasar
pemikirannya bukannya tidak boleh memberikan ganti rugi kepada kerugian yang
berwujud lain, tetapi karena kerugian yang berwujud lain itu tidak dapat
diganti dengan uang.
Jadi yang dimaksud bukannya
sifat dari kepentingan yang dirugikan, tetapi apakah yang dirugikan bisa
dipulihkan dengan pembayaran ganti rugi sejumlah uang.Kalau bisa maka hal itu
berarti, bahwa kerugian itu bisa dinilai dengan uang. Untungnya pengadilan
dalam hal ini tidak mengambil sikap yang kaku; rasa sakit bisa dihilangkan atau
dikurangi dengan pemberian obat (yang dibayar dengan sejumlah uang), kebutaan
dibantu dengan seorang penuntun (yang harus dibayar secara berkala), kenikmatan
estetika bisa diganti dengan kenikmatan sejenis yang lain (yang harus
dibeli atau dibayar dengan sejumlahuang). Konsekuensinya, Hakim tidak berhak
menetapkan ganti rugi sejumlah uang tertentu atas kerugian, kalau bagaimanapun
dengan uang itu (kerugian) tidak akan dapat dikurangi atau diperbaiki, kecuali
sudah tentu kalau undang-undang sendiri membolehkan hal seperti itu.
5. Bentuk-Bentuk Kerugian
Bentuk-bentuk kerugian dapat
kita bedakan atas dua bentuk yakni :
a. Kerugian materiil
b. Kerugian immateriil
Undang-undang hanya mengatur
penggantian kerugian yang bersifat materiil.Kemungkinan terjadi bahwa kerugian
itu menimbulkan kerugian yang immateriil, tidak berwujud, moril, idiil, tidak
dapat dinilai dengan uang, tidak ekonomis, yaitu berupa sakitnya badan,
penderitaan batin, rasa takut, dan sebagainya.
Sulit rasanya menggambarkan
hakekat dan takaran obyektif dan konkrit sesuatu kerugian immateriil. Misalnya:
bagaimana mengganti kerugian penderitaan jiwa. Si A berjanji kepada si B untuk
menjual cincin berlian sekian karat.Ternyata berlian itu palsu yang
mengakibatkan kegoncangan dan penderitaan batin bagi si B. Bagaimana
memperhitungkan kerugian penderitaan batin dimaksud? Sekalipun memang benar
menentukan hakekat dan besarnya kerugian non-ekonomis, ganti rugi terhadap hal
ini pun dapat dituntut. Penggantiannya dialihkan kepada suatu perhitungan yang
berupa “pemulihan”.Biaya pemulihan inilah yang diperhitungkan sebagai ganti
rugi yang dapat dikabulkan oleh hakim.
Seperti dalam contoh di atas,
tentu tidak dapat diganti kegoncangan jiwa yang diderita oleh si pembeli
tersebut.Tetapi debitur dapat “dibebankan” sejumlah biaya pengobatan
rehabilitasi.Misalnya ongkos dokter dan biaya sanatorium.Sampai benar-benar si
kreditur itu pulih kembali.Atau kalau kita ambil kecelakaan yang semakin
merajalela di jalan raya. Karena kesalahan dan kecerobohan , A menabrak B
sehingga kakinya harus diamputasi. Tak mungkin debitur mesti mengganti kaki
yang dipotong itu.Bagaimana mengherstel kaki yang sudah dipotong.Yang
rasional ialah sejumlah ganti rugi kebendaan berupa uang. Ini sesuai pula
dengan ketentuan pasal 1371 KUHPerdata yang menyatakan : cacat atau puntung
pada bagian badan / tubuh yang dilakukan dengan “sengaja” atau oleh karena
“kurang hati-hati”, memberi hak kepada orang itu menuntut “bayaran” di luar
biaya pengobatan. Dari pasal ini dapat ditarik kesimpulan si korban dapat
menuntut ganti rugi “kebendaan” atau kerugian yang non-ekonomis, yang terdiri
dari :
- sejumlah biaya pengobatan ;
- dan sejumlah uang bayaran
sesuai dengan keadaan cacat yang diderita.
Mengenai ukuran uang bayaran
cacat di luar pengobatan tadi, dinilai atas dasar “kedudukan dan kemampuan”
kedua belah pihak, sambil memperhatikan hal ihwal kejadian itu sendiri.
Akan tetapi tidak setiap
kerugian ekonomis mesti diganti dengan suatu yang bersifat kebendaan yang
bernilai uang.Malah kadang-kadang lebih tepat diganti dengan hal-hal yang
bersifat non-ekonomis pula. Umpamanya “hak perseorangan” (persoonlijkerechten)
: integritas pribadi, kebebasan pribadi, memulihkan nama baik dan sebagainya.
Dalam hal ini pemulihan atau rehabilitasi hak asasi perseorangan tadi, jauh
lebih efektif dari pada penilaian ganti rugi uang.
Namun di luar hal-hal yang tersebut
tadi biasanya ganti rugi non-ekonomis lebih sempurna bila diganti dengan
sejumlah uang sebagai alat rehabilitasinya.Asal benar-benar jumlah ganti rugi
tadi “efektif” banyaknya sesuai dengan perhitungan yang memungkinkan
tercapainya hasil pemulihan yang mendekati keadaan semula.Misalnya pengobatan
sanatorium disamping biaya pemulihan dan kehidupan selanjutnya, haruslah
benar-benar efektif nilainya (effectieve waarde).
Kesimpulan
:
Ganti rugi sebagai akibat
pelanggaran norma, dapat disebabkan karena wanprestasi yang merupakan perikatan
bersumber perjanjian dan perbuatan melawan hukum yang merupakan perikatan
bersumber undang-undang. Ganti rugi sebagai akibat wanprestasi yang diatur di
dalam Kitab Undang-Undang Hukum Perdata, dapat juga diberlakukan bagi ganti
rugi sebagai akibat perbuatan melawan hukum.Mengingat adanya bentuk kerugian
materiil dan imateriil, maka wujud ganti rugi dapat berupa natura (sejumlah
uang) maupun innatura.
DAFTAR PUSTAKA
Setiawan R., Pokok-Pokok Hukum Perikatan, Binacipta, Bandung,
1977.
Harahap M. Yahya, Segi-Segi Hukum Perjanjian, Alumni, Bandung,
1986.
Meliala Djaja S., Perkembangan Hukum Perdata Tentang Benda dan
Hukum Perikatan, Nuansa Aulia, Bandung, 2007.
Muhammad Abdulkadir, Hukum Perikatan, Alumni, Bandung, 1982.
Nieuwenhuis J.H., terjemahan Djasadin Saragih, Pokok-Pokok
Hukum Perikatan, Airlangga University Press, Surabaya, 1985.
Patrik Purwahid, Dasar-Dasar Hukum Perikatan (Perikatan Yang
Lahir Dari Perjanjian dan Dari Undang-Undang), Mandar Maju, Bandung, 1994.
Satrio J., Hukum Perikatan (Perikatan Pada Umumnya), Alumni,
Bandung, 1999.
Sumber
:
Tidak ada komentar:
Posting Komentar